Tugas UAS

Diposting oleh sendokgarpu
Jumat, 14 Januari 2011

Feature

Nasi Gandul Kuliner Khas Pati, di Jogja

Rabu, 12 Januari 2011

Apa yang akan terlintas di benak Anda jika Anda mendengar sebutan “nasi gandul”? Mungkin Anda akan mengira bahwasanya itu adalah nasi yang bergelantung, atau nasi yang digantungkan, atau mungkin hal-hal lain yang berkaitan dengan hal “gandul” tergantung dari imajinasi seseorang. “Pertama kali saya mendengar nasi gandul, yang saya pikirkan, apakah nasinya itu digantung? Namanya gondal-gandul?” tutur Tina (24) mahasiswi asal Palembang. Berbeda lagi dengan penuturan Denta (22), mahasiswi asal Tulungagung, “saya penasaran, apa artinya ‘gandul’?” Akan tetapi, hal itu tidak akan terjadi apabila yang mendengar sebutan tersebut adalah masyarakat Pati (Jawa Tengah) dan sekitarnya.

Nasi gandul merupakan masakan khas daerah Pati (daerah pesisir Jawa Tengah, merupakan jalan pantai utara Jawa). Akan tetapi, konon menurut cerita, daerah di Pati yang memopulerkan nasi gandul ini adalah desa Gajahmati (arah selatan teminal bus Pati). Jika ditelusuri asal-usul pemberian nama nasi gandul, banyak versi yang mengemukakan tentang hal tersebut.

Versi pertama mengatakan bahwa nama nasi gandul adalah nama pemberian dari pembeli. Dulu, di daerah Pati, penjual nasi gandul menjajakan nasinya dengan menggunakan pikulan yang berisi kuali (tempat kuah nasi gandul) di satu sisi, dan bakul nasi serta peralatan makan nasi gandul di sisi lain. Kemudian, pikulan tersebut digotong dan dijajakan sehingga pikulan tersebut naik-turun seirama dengan langkah penjualnya. Oleh sebab itu, masyarakat kemudian menamainya nasi gandul.

Versi kedua, nama nasi gandul terinspirasi dari cara penyajian nasi gandul yang unik. Cara penyajiannya: piring yang telah dilapisi oleh daun pisang, kemudian diisi oleh nasi, baru setelah itu diberi kuah. Karena penyajian yang serupa itu, oleh para pembeli menyebut bahwa nasi dan kuah itu mengambang; menggantung (tidak menyentuh piring).

Versi ketiga mungkin dahulu hanya sebagai bahan banyolan masyarakat Pati. Dikisahkan bahwa penjual (seorang pria) yang menjajakan nasi tersebut dengan cara berkeliling, memakai sarung. Ketika penjual tersebut duduk dan melayani pembeli, sarung penjual tersebut tersingkap dan kelihatan alat kelaminnya yang ‘gondal-gandul’. Kemudian, sejak saat itu orang menyebut nasi itu adalah nasi gandul.

Seiring dengan berkembangnya waktu, nasi gandul yang mulanya dijajakan dengan menggunakan pikulan dan hanya dikenal oleh masyarakat Pati kini telah menempati warung serta dikenal oleh masyarakat luas. Di Jogja misalnya, menjajakan nasi gandul diwarung telah ditekuni oleh beberapa orang.

Kembali ke warung nasi gandul, ada yang khas dalam warung nasi gandul tersebut. Pikulan yang telah dijelaskan di atas tetap dipakainya untuk tempat kuali kuah dan nasi. Hanya bedanya, pikulan ini untuk memperjelas kekhasan nasi gandul dan nilai estetik yang antik. Penyajian nasi gandul juga khas, yaitu menggunakan piring yang dilapisi daun pisang sebelum diberi nasi dan kuah. Daun pisang yang biasa digunakan adalah daun pisang kluthuk (pisang biji). Hal ini digunakan untuk memberi aroma segar terhadap kuah. Sebagai lauknya, biasanya di warung nasi gandul menyediakan daging sapi, babat, kikil, hati, iso, paru, lidah, perkedel, tempe goreng, dan telur ayam, serta bisa juga dengan pencampuran beberapa lauk tersebut. Adapun tempe goreng, juga menjadi ciri khas warung nasi gandul. Tempe goreng yang disajikan sangat garing dan renyah. Tempe tersebut sebelum digoreng terlebih dahulu direbus dengan menggunakan santan, atau bisa juga dengan merendam potongan tempe dengan air injet (kapur) semalaman. Selain warung dan cara penyajiannya yang khas, rasa nasi gandul akan membuat pembeli ketagihan.

Jika sekarang Anda berada di Jogja, Anda tidak perlu kawatir untuk repot-repot menjelajah kota Pati. Di daerah Sleman (Jogja), ada dua warung (yang penulis ketahui) yang menyediakan nasi gandul. Warung yang pertama berada di jalan Kaliurang, km. 9,3 dengan nama warung “Lexus” (sebelah barat, sebelum pertigaan rambu lalulintas). Warung ini dulunya bertempat di jalan Kaliurang sekitar km. 8 (dekat PLN). Sudah tujuh tahun pemilik warung nasi gandul yang asli orang Pati ini menjalani kiprahnya. Warung yang kedua bisa ditemui di jalan Prof. Yohanes no. 1060, Terban. Pemiliknya adalah Kristi Yuliani. Beliau sudah berkiprah selama lebih kurang empat tahun. Kedua warung ini sama-sama menjual nasi gandul dengan lauk yang rata-rata sama. Rasanya pun hanya berbeda sedikit. Akan tetapi, ada yang berbeda dalam soal rasa khas seperti nasi gandul yang dijual di Pati. Di Pati, kecap yang digunakan untuk menyedapkan rasa nasi gandul adalah kecap dari Pati yaitu cap “Gentong” atau “Lele”. Silakan ditimbang sendiri kekhasan nasi gandul karena warung pertama menggunakan kecap khas dari Pati yaitu kecap “Gentong”, sedangkan warung kedua menggunakan kecap “Bangau”.

Harga per porsi di setiap warung juga bervariasi tetapi tetap terjangkau dikantong mahasiswa, yaitu berkisar Rp4.500,00 – Rp11.000,00. Namun, jika ada yang berminat untuk membuat sendiri.
 (ADHITYA PANDU MURTI /153070228)





Indepht Reporting.
Oleh-oleh sebagai Ikon Kota
Rabu,12 Januari 2011

Di masa lalu, industri kreatif di bidang oleh-oleh masih belum seberapa berkembang dibanding saat ini. Contohnya, sekitar 20 tahun yang lalu, penumpang pesawat terbang dari Medan atau Makassar biasanya tampak menjinjing dua botol sirop markisa sebagai oleh-oleh.

Sekarang, pemandangan seperti itu sudah passe. Di areal check in bandara Polonia, Medan, kita akan melihat ratusan boks Bolu Gulung Meranti atau Bika Ambon Zulaikha (dan merk-merk lain). Di Makassar, kita juga melihat banyak penumpang membawa termos plastik besar berisi kepiting saus padang dari beberapa Restoran.

Hampir setiap kota Indonesia kini memiliki industri oleh-oleh – baik makanan kering maupun basah – dalam skala ekonomi yang cukup besar. Orang tidak lagi sekadar menenteng satu besek berisi sepuluh lumpia, melainkan membeli beragam oleh-oleh yang dikemas dalam dus besar dan dibawa terbang sebagai bagasi.

Di kawasan Pasar Genteng, Surabaya, juga di ruas jalan utama Sidoarjo, misalnya, banyak sekali toko yang khusus menjual oleh-oleh. Mulai dari berbagai jenis krupuk, trasi, petis, dan jajanan lain. Di bagian lain, ada pula yang menjual bandeng asap dan lidah sapi asap. Setiap pembeli membelanjakan ratusan ribu rupiah untuk oleh-oleh yang akan dibawa pulang dan dibagikan kepada kerabat dan handai taulan.

Palembang, Jambi, Pangkalpinang, dan Tanjungpandan juga merupakan kota-kota dengan industri krupuk dan kemplang yang sangat populer sebagai oleh-oleh. Keempat kota ini punya pempek dan otak-otak istimewa yang sering diincar para pembelanja oleh-oleh. Selain itu, toko-toko oleh-oleh di Pangkalpinang dan Tanjungpinang juga punya andalan lain: sambalingkung (abon dari ikan laut), trasi, dan kulat pelawan (jamur khusus yang enak dimasak kari).

Bandung di masa lalu kebanyakan dikenal dengan kripik oncom dan peuyeum (tape singkong). Sekalipun peuyeum masih cukup populer hingga sekarang, tetapi kripik oncom sudah mulai terpinggirkan. Penggantinya adalah brownies kukus, pisang molen, kue sus, dan juga yoghurt. Ada beberapa toko roti di Bandung yang punya nama bagi banyak penggemarnya.

Semarang punya beberapa andalan oleh-oleh. Lumpia yang diisi rebung (tunas bambu), ebi, udang, dan telur, merupakan oleh-oleh populer. Kalau mau yang lebih tahan lama, pilihannya adalah wingko babat – dibuat dari ketan dan parutan kelapa. Kota-kota Pantura di dekat Semarang juga menyumbangkan banyak items oleh-oleh, seperti: bandeng duri lunak dan bandeng asap dari Juwana, jenang (dodol) dari Kudus, krupuk udang dari Rembang dan Jepara.

Sekarang sudah tidak banyak lagi penumpang pesawat dari Yogyakarta yang menenteng gudeg kendil. Dari kota ini sekarang orang kebanyakan membawa oleh-oleh yang praktis dan ekonomis, yaitu: bakpia. Padahal, di Yogya banyak sekali jajanan basah maupun kering yang pantas dibawa sebagai oleh-oleh. Jajanan basah misalnya adalah: kipo dari Kotagede, jadah dan tempe bacem dari Kaliurang. Jajanan kering yang populer adalah: rempeyek dan geplak dari Bantul. Butet Kartaredjasa memberi gagasan untuk membawa oleh-oleh berupa empal goreng yang dapat dibeli di Pasar Bringharjo.

Senyampang sekarang Departemen Perdagangan sudah punya perhatian pada sektor kuliner, ada baiknya bila juga memerhatikan subsektor oleh-oleh ini. Menurut beberapa pendapat, bila digali dan dikaji secara mendalam, setiap kota besar Indonesia – khususnya yang punya bandara – harus dapat menampilkan setidaknya satu jenis oleh-oleh yang dapat dikembangkan hype-nya sehingga menjadi ikon kota yang bersangkutan. Semarang Kota Lumpia. Yogyakarta Kota Jadah Manten. Manado Kota Nasi Kuning. Dan sebagainya! Jakarta pun perlu punya oleh-oleh yang ikonik, supaya jangan hanya Dunkin’ Donuts atau Roti Boy yang ditenteng penumpang di Bandara Soekarno-Hatta.

Bayangkan, bila setiap penumpang pesawat terbang menenteng satu kemasan oleh-oleh dari setiap bandara pemberangkatan, berapa nilai ekonomi baru yang dapat dibangkitkan? Apalagi bila dipikirkan pula sistem produksinya secara bertingkat agar menguntungkan para pelaku ekonomi golongan kecil dan menengah. Ekonomi rakyat di bidang kuliner adalah kekuatan kita sejak dulu.

Yang juga sangat perlu dipertimbangkan adalah kemasan serta usia produk. Alangkah kecewanya kita bila membawa ayam panggang kalasan yang ternyata sudah basi ketika tiba di rumah. Berbagai jenis kue basah juga cukup rentan terhadap waktu, sehingga perlu ditangani secara khusus. Klappertaart dari Manado repot dibawa untuk perjalanan jauh.

Industri oleh-oleh merupakan subsektor ekonomi yang sangat khas Indonesia. Di bagian dunia lainnya, jarang sekali saya melihat fenomena ini. Di Amerika Serikat, misalnya, beberapa kota besar memiliki ikon kuliner yang cukup populer. Tetapi, hampir semuanya merupakan makanan yang harus disantap di tempat. Takeaway hanya sebatas membawa makanan dari restoran ke rumah, bukan dari satu kota ke kota lain. Hal yang sama juga berlaku di Eropa. Bahkan di negara-negara Asia yang lain pun saya belum melihat tradisi berbelanja oleh-oleh seperti di Indonesia.

Justru karena merupakan satu hal yang sangat khas, mestinya sektor bisnis oleh-oleh ini harus dipikirkan lagi secara selangkah ke depan, khususnya untuk memberi kemudahan bagi konsumen yang pada gilirannya pasti akan menggelembungkan nilai ekonominya.
(ADHITYA PANDU MURTI /153070228) 




Straight News
Warung Makan di Kawasan Kaliurang Sepi Pembeli Pasca Letusan Merapi
kamis,30 Desember 2010

Sejumlah warung makan yang terdapat di sepanjang kawasan jalan Kaliurang kilometer 5,5 tampak sepi pembeli pascaletusan Gunung Merapi yang mengeluarkan debu vulkanik hingga ke kota Yogyakarta, padahal sebelumnya kawasan itu selalu ramai pembeli.

"Semenjak Merapi meletus dahsyat pada Kamis (4/11) malam lalu, warung makan kami sepi pengunjung karena banyaknya debu dan sebagian orang banyak yang mengungsi," kata Triyono salah seorang pemilik warung makan di kawasan tersebut.

Ia mengatakan, dampak letusan Merapi ini sempat membuat warung makan ini tutup selama tiga hari, karena banyaknya debu di sepanjang jalan Kaliurang, Kabupaten Sleman.

"Kami memang sengaja menutup warung selama tiga hari, selain dampak letusan yakni debu vulkanik, juga kondisi pembeli yang sangat sepi, kalaupun dipaksa untuk dibuka, takutnya makanan yang dijual tidak laku," katanya.

Triyono juga mengatakan, dampak dari letusan Merapi ini membawa kerugian dalam bisnis makanan yang dikelolanya. "Kami mengalami kerugian khususnya omzet pendapatanya menurun , karena banyak orang yang mengungsi sehingga jumlah pembeli cenderung sepi," katanya.

Semenjak pascaletusan Merapi tersebut, jumlah pendapatan dan tingkat penjualan menurun sangat signifikan. "Dalam satu hari kami hanya mampu memperoleh sekitar Rp800.000 saja, sebelumnya mencapai Rp1 juta lebih, dan terkadang makanan yang tidak laku terjual terbuang sia-sia karena sepinya pembeli," katanya.

Sementar itu, debu vulkanik yang sampai ke kawasan ini juga mempengaruhi tingkat penjualan dan jumlah pembeli, karena sebagian pembeli mementingkan kebersihan.

"Dampak debu juga mempengaruhi akibatnya sebagian orang enggan membeli makanan yang kondisi warungnya agak terbuka, karena banyak debu yang berterbangan kemana-mana," katanya. 
(ADHITYA PANDU MURTI /153070228) 


 
Tema Opni Kuliner.
Yogya Dengan  ke Istimewaan Gudegnya 
Kamis, 30 Desember 2010 
Bicara tentang kuliner memang tiada habisnya apa lagi di Yogyakarta yang terkenal dengan keistimewaanya maka tak jarang kulinernya itu pun juga istimewa. Yogyakarta sering disebut sebagai Kota Gudeg. Maklum, dari kota inilah gudeg mulai menyebar ke seluruh antero Nusantara dan menjadi sajian populer. Gudeg hadir dalam dua versi, yaitu, kering dan basah. Gudeg kering adalah gudeg yang setelah direbus kemudian ditiriskan dan digoreng tanpa minyak dengan menambahkan gula merah. Kebanyakan gudeg kering mempunyai citarasa manis yang intens. Sedangkan gudeg basah cenderung kurang manis. Ada jenis gudeg lain yang populer, yaitu gudeg manggar. Manggar adalah putik bunga kelapa muda yang dipakai sebagai bahan utama menggantikan nangka muda.  Penggunaan manggar sebagai pengganti nangka muda merupakan bentuk perlawanan di masa lalu.  Konon, sebagian rakyat Bantul pada masa Perang Diponegoro melawan kekuasaan Sultan Hamengkubuwono yang pada waktu itu mereka anggap memihak pada kepentingan Hindia-Belanda. Kuliner Perlawanan inilah yang kemudian menghasilkan gudeg manggar.
Secara umum, gudeg manggar mempunyai citarasa yang sama dengan gudeg nangka muda. Ini disebabkan karena bumbu-bumbu yang dipakai persis sama. Sekalipun pada umumnya gudeg manggar juga bercita rasa manis, tetapi setiap dapur tentu mempunyai kekhasan masing-masing. Misalnya, ada yang memakai tempe sebagai bumbu, sehingga menghasilkan citarasa yang sangat khas. Di dapur lain, tempe tidak dipergunakan, tetapi mereka memakai tulang dan kulit ayam untuk membuatnya lebih gurih. Selalu ada kreativitas khas untuk membuat gudeg manggar lebih istimewa.
Seperti halnya gudeg, gudeg manggar pun biasanya disandingkan dengan berbagai lauk-pauk, seperti, opor ayam berkuah kental, sambal goreng krecek, tahu dan tempe bacem, dan lain-lain. Gudeg manggar sempat menjadi langka karena kehilangan peminat. Namun, sejak beberapa tahun belakangan, gudeg manggar kembali naik daun setelah beberapa media massa menampilkannya sebagai kuliner pusaka yang wajib dilestarikan. Di berbagai festival kuliner pun hampir dapat dipastikan kehadiran gudeg manggar yang mendapat perhatian ramai.





 


Posting Komentar

Blogger Template New Plus Blue

Designed by : Edo Pranata XML Coded by : Edo Pranata